
Berlin, Inidetik.com – China resmi menggeser Amerika Serikat (AS) sebagai mitra dagang terbesar Jerman dalam delapan bulan pertama 2025, berdasarkan data terbaru dari Kantor Statistik Federal Jerman (Destatis).
Pergantian posisi ini mencerminkan dampak signifikan dari kebijakan tarif perdagangan baru AS terhadap ekspor Jerman serta meningkatnya ketegangan ekonomi trans-Atlantik.
Dari Januari hingga Agustus 2025, ekspor Jerman ke AS tercatat sebesar 101 miliar euro (sekitar Rp1.950 triliun), turun 6,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Sementara pada Agustus saja, ekspor Jerman ke AS anjlok 20,1 persen secara tahunan menjadi 10,9 miliar euro — penurunan terbesar sejak November 2021.
Impor dari AS mencapai 63,4 miliar euro, menjadikan total perdagangan bilateral 164,4 miliar euro. Sebaliknya, total perdagangan Jerman–China mencapai 166,3 miliar euro, menandai dominasi baru Beijing dalam hubungan ekonomi dengan Berlin.
Presiden Federasi Grosir, Perdagangan Luar Negeri, dan Jasa Jerman, Dirk Jandura, menyebut tarif impor AS sebesar 15 persen terhadap produk Uni Eropa (UE) yang mulai berlaku 1 Agustus menjadi faktor utama merosotnya ekspor. “Permintaan terhadap mobil, mesin, dan bahan kimia buatan Jerman mengalami penurunan tajam,” ujarnya.
Asosiasi Kamar Dagang dan Industri Jerman melaporkan bahwa lebih dari separuh perusahaan Jerman berencana mengurangi perdagangan dengan AS, sementara sekitar seperempat lainnya berencana menunda atau membatalkan investasi di negara tersebut.
Ekonom Hermann Simon memperingatkan, “Tarif AS telah menciptakan tantangan serius bagi eksportir Jerman. Perusahaan yang kehilangan pangsa pasar di AS harus mencari pasar baru untuk bertahan.”
Sektor otomotif menjadi korban terbesar. Sejak Washington menaikkan tarif impor kendaraan dan produk terkait pada April, ekspor mobil Jerman terus tertekan. Laporan konsultan EY mencatat sektor otomotif Jerman kehilangan sekitar 51.500 pekerjaan dalam setahun terakhir, atau hampir 7 persen dari total tenaga kerja di sektor tersebut.
Dampak domino pun meluas. DHL akan memangkas 8.000 karyawan hingga akhir 2025, sementara Siemens berencana mengurangi 6.000 posisi hingga 2027. Perusahaan besar lain seperti Thyssenkrupp Steel dan Bosch juga mengumumkan langkah serupa.
Lonjakan biaya dan melemahnya permintaan turut memicu peningkatan kebangkrutan bisnis. Asosiasi Industri Jerman memperkirakan terdapat lebih dari 22.000 pengajuan pailit sepanjang tahun ini, tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Presiden Bundesbank Joachim Nagel mengingatkan bahwa kebijakan tarif AS dan ketidakpastian global “menggerus pemulihan industri Jerman yang masih rapuh”.
Sementara itu, lembaga riset Ifo Institute memperkirakan ekonomi Jerman hanya tumbuh 0,2 persen pada 2025, tertekan oleh hambatan tarif dan permintaan global yang lemah.


